5.25.2012

Belajar Islam : Memulai Dari Mana ?

Pertanyaan sederhana ini kiranya tidak mudah dijawab, apalagi jika yang diinginkan adalah jawaban yang benar-benar memuaskan banyak pihak. Mungkin sebenarnya pertanyaan semacam ini dirasakan oleh banyak kalangan, terutama para guru agama Islam atau penyusun kurikulumnya. Namun pertanyaan itu tidak banyak dimunculkan, sekalipun dirasakan penting, terutama bagi para guru yang sehari-hari bertugas mendidik atau mengajar agama Islam.

Sementara ini, para pengajar agama Islam di sekolah, madrasah, atau pesantren memulainya dengan mengajar Bahasa Arab dari tingkat dasar, tahap demi tahap. Namun seringkali juga tidak tuntas hingga para siswanya berhasil memahami kitab-kitab berbahasa Arab. Selain itu, juga diajari dasar-dasar pengetahuan agama Islam, seperti ilmu fiqh tingkat dasar, tauhid, tarekh, dan akhlak. Pelajaran fiqh tingkat dasar, biasanya dimulai dari memperkenalkan hal terkait thoharoh atau bersuci.

Umumnya, para guru agama Islam merasakan bahwa bahan ajar pelajaran agama terlalu luas, sehingga memerlukan waktu yang lama. Hanya anehnya, jika diteliti secara saksama, ternyatra bahan pelajaran itu berulang-ulang diberikan, dari jenjang satu ke jenjang berikutnya. Misalnya pelajaran thoharah, diberikan di setiap jenjang mulai dari tingkat dasar, menengah dan bahkan anehnya, di perguruan tinggi Agama pun kadang masih diberikan lagi, sebagai bagian dari mata kuliah ilmu fiqh.

Apa yang dijalankan oleh para guru agama Islam, ternyata masih dirasakan kurang memuaskan, bahkan oleh guru yang bersangkutan. Mereka merasakan apa yang telah diberikan pada anak-anak di sekolah belum memberikan hasil sebagaimana yang diinginkan. Para siswa yang telah dinyatakan lulus pelajaran agama, ternyata belum menunjukkan perilaku keberagamaan secara baik. Bahkan, hasil itu kadang dirasa masih terlalu jauh dari yang ditargetkan.

Penilaian yang kurang memuaskan itu, lebih-lebih dirasakan oleh para guru pada jenjang pendidikan lebih tinggi. Sementara orang mengatakan misalnya, lulusan madrasah tingkat atas, atau Madrasah Aliyah belum lancar membaca al Qurán. Padahal semestinya, seorang siswa yang telah dinyatakan lulus pada jenjang itu, dianggap lancar mengaji atau membaca al Qurán. Bahkan hasil yang dirasakan memprihatinkan itu juga terjadi pada mereka yang telah lulus sarjana pendidikan agama. Tidak sedikit di antara mereka ditemukan belum lancar membaca al Qurán.

Rasanya memang aneh, tetapi itulah yang terjadi. Persoalan ini juga bukan hal baru. Prof.Dr.Mukti Ali (alm) ketika menjabat sebagai Menteri Agama menyadari akan kondisi seperti itu. Beliau mengatakan bahwa setidaknya ada dua kelemahan yang disandang bagi lulusan perguruan tinggi Islam di Indonesia, yaitu lemah penguasaan bahasa asing dan metodologi kajian Islam. Untuk mengatasi kelemahan dalam berbahasa asing, Prof.Dr. Mukti Ali mewajibkan bagi seluruh mahasiswa IAIN di seluruh Indonesia agar mengikuti kursus Bahasa Arab dan Inggris secara intensif. Perintah itu dijalankan, tetapi tidak bertahan lama, dan akhirnya program itu berhenti.

Berbagai persoalan tentang pendidikan Agama Islam seperti dikemukakan itu, hingga kini belum mendapatkan jawaban yang memuaskan. UIN Maliki Malang, ------yang sebelumnya berbentuk STAIN Malang, sejak tahun 1997 memberikan pengajaran bahasa asing (Arab dan Inggris) secara intensif dan bahkan pada tahun berikutnya menyempurnakan program itu dengan apa yang disebut dengan program Ma’had. Melalui program pembelajaran Bahasa Arab – Inggris intensif dan Ma’had, diharapkan semua mahasiswa UIN Maliki Malang berhasil menguasai kedua Bahasa Asing itu. Usaha keras seperti itu sudah membawa hasil, sekalipun dirasakan belum maksimal. Program dimaksud telah berjalan kurang lebih 13 tahun dan masih berlangsung hingga sekarang.

Persoalan mendasar yang ingin dilakukan oleh UIN Maliki Malang adalah menunaikan amanah untuk mengintegrasikan antara ilmu-ilmu umum dan ilmu agama, sejalan dengan statusnya sebagai universitas. Terkait dengan itu pertanyaan yang harus dijawab adalah dari mana memulai kajian Islam itu, agar dikotomik keilmuan itu benar-benar tidak terjadi. Selama ini yang terjadi, bahwa kajian Islam dimulai dengan mengkaji fiqh, tauhid, akhlak, tasawwuf, tafsir dan hadits, maka hasilnya keilmuan yang bersifat dikotomik itu.

Mengubah pandangan atau cara berpikir lama ternyata tidak mudah. Terkait dengan ini, orang akan selalu saja mengatakan bahwa kajian Islam memang seharusnya adalah seperti itu. Bahwa apa yang disebut sebagai Islamic studies adalah kajian yang terkait dengan ilmu fiqh, tauhid, ilmu tafsir, hadits dan sejenisnya. Selain itu adalah bukan termasuk di dalamnya. Bahkan ada yang lebih ekstrim lagi mengatakan bahwa, cara pandang itu harus dipertahankan, karena sudah berjalan sekian lama, berabad-abad dan seterusnya.

Jika mau dan berani, untuk menemukan jawaban dari persoalan sederhana sebagaimana dikemukakan di muka ----di awal tulisan ini, sesungguhnya tidak terlalu sulit. Kembali saja kepada petunjuk al Qurán, maka jawaban itu akan ditemukan. Rasulullah dalam memperkenalkan Islam dalam sejarahnya dilakukan secara bertahap. Ayat-ayat al Qurán secara bertahap turun kepada Rasul dan kemudian disampaikan kepada para sahabat dan umatnya. Ajaran Islam yang diterima melalui Rasul itu, bukan saja dijadikan bahan pelajaran atau kajian tetapi juga dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.

Ayat-ayat tersebut pada saat sekarang ini sudah berbentuk kitab suci, lengkap dari yang turun pertama kali hingga ayat yang terakhir. Maka jika pelajaran atau kajian Islam mengikuti saja, memulai dari ayat-ayat yang diturunkan sejak awal itu sampai terakhir hingga sempurna, atau mengikuti saja sistematika apa yang tertulis dalam al Qurán itu, dan kemudian disempurnakan dengan kajian riwayat hidup Rasulullah, maka Islam akan dapat dipahami secara utuh. Selanjutnya akan menjadi lebih sempurna lagi, jika juga dikaji berbagai aspek lainnya, misalnya dari aspek sejarah, sosiologi, psikologi, budaya dan lain-lain.

Kajian itu dimulai, misalnya dengan mengkaji ayat-ayat yang pertama turun. Ayat itu ternyata, adalah perintah untuk membaca. Perintah itu diberikan tatkala Muhammad saw., sedang berada di Guwa Hira’ di atas jabal Nur. Isi perintah dan tempat di mana perintah itu disampaikan mestinya memberikan inspirasi tentang apa sesungguhnya Islam itu. Perintah itu ternyata tentang membaca. Sebelum Muhammad diperintah tentang lainnya, terlebih dahulu diawali dengan perintah membaca. Peristiwa itu menunjukkan bahwa membaca adalah bagian penting dari Islam.

Kegiatan membaca jika direnungkan secara mendalam adalah merupakan pintu meraih segala-galanya. Kemenangan, keuntungan, kebahagiaan, kemakmuran, keunggulan dan sejenis itu semuanya, jika diperhatikan secara saksama, adalah merupakan hasil dari kegiatan membaca. Lebih dari itu, ilmu pengetahuan sebagai pintu mendapatkan segala keuntungan dan kemuliaan juga dimulai dari kegiatan membaca. Sayangnya kegiatan membaca, walaupun itu adalah justru merupakan perintah Allah yang pertama kali diturunkan, ternyata masih saja tidak atau belum dimasukkan menjadi bagian dari Islam itu sendiri.

Kegiatan membaca, dalam pengertiannya yang lebih mendalam disebut dengan istilah riset. Namun ternyata, kegiatan riset di kalangan umat Islam pada umumnya belum dipahami sebagai bagian dari Islam. Padahal, kegiatan membaca yang dimulai atau atas nama Tuhan, sebenarnya akan tepat disebut sebagai kegiatan awal belajar dan sekaligus menjalankan ajaran Islam itu sendiri. Wallahu a’lam.

sumber : http://rektor.uin-malang.ac.id

Artikel Terkait:

example